Cerpen AKU,KAU DAN KUA (cover title)
Desaku tiga hari
kebelakang tak kunjung disinari mentari dengan sempurna. Hujan turun tak henti
bagai rumput yang terus tumbuh. Udara terasa sejuk bagaikan salju yang akan
turun. Pesona langit terlihat kusam ibarat wajah penuh noda. Mungkin Tuhan
sedang sedih pikirku.
Hari keempat masih sama saja tanpa
melihat perbedaan jauh sedikitpun. Pagi itu aku bangun tidur lebih cepat dari
biasanya, tentunya tak ada lagi selain secangkir kopi hangat sebagai teman yang
sempurna dalam dinginnya hujan. Beruntungnya aku punya teras yang dihadapkan
dengan taman halaman depan. Jarum jam menunjukkan pukul delapan yang berarti
pukul sembilan akan tiba tak lebih dari enam puluh menit lagi. Ini bukan
berarti maksud apapun, biasanya pada pukul itu aku harus terus mencari
pekerjaan di setiap harinya.
Berselang tak lebih seperempat jam
seteah itu, aku masih terus memandang jatuhnya hujan menyirami tamanku. Seorang
wanita paruh baya berjalan melewati rumahku. Tanpa tahu pasti kemana arah
tujuannya, mungkin dia ingin membeli mengkudu di toko seberang jalan pikirku.
Mirna namanya, di ujung komplek rumahnya, jual jamu kesehariannya. Aku
mengenalnya dengan pasti, jamu jambu menjadi andalannya, obat meriang katanya,
warisan keluarga ngakunya.
Seluruh warga komplek mengenalnya,
tak sedikit yang suka padanya, tak kurang sebagian dari mereka pernah melamarnya, termasuk diriku. Akan tetapi,
otak kecilku masih heran, mereka-mereka semua yang datang bermaksud melamar
hanya mendapat penolakan, ya, tak terkecuali juga bagi diriku.
Empat tahun sudah aku berusaha
untuk melamarnya. Tiga tahun sebelas bulan tepatnya. Sempat terlintas di
benakku, apa yang kurang dari diriku? Punya rumah sudah, meski cuma
sepeninggalan ibu bapak, masalah tampang menurutku Fatimah tukang salon sebelah
rumah juga tak bosan melihatku, bahkan taman rumahku juga ada meski tak ada
bunganya. Delapan kali sudah lamaran ku beri, tujuh bulan sekali tepanya, empat
kali diusir tiga kali digampar dan terakhir hinaan yang kudapat sebagai
rinciannya. Apa mungkin aku melamar disaat dia sedang datang bulan atau karena
daun papaya yang kumakan setiap hendak melamarnya pikirku.
Tepat dua hari kemudian disaat aku
sedang berkeliling kota. Tepat sekali, apalagi kalau bukan dengan maksud
mencari pekerjaan. Belum lama setelah aku kembali ditolak oleh sebuah
perusahaan, aku melihat seorang wanita sedang digoda oleh sekelompok pria. Aku
mengenalnya dan sangat mengenalnya, Mirna. Melihat Mirna diperlakukan seperti
itu aku datang menghampiri pada olah TKP. Ini bisa menjadi kesempatan pikirku,
tanpa banyak basi, tarikan menuju tangan Mirna langkah awalku, mengaku suami
Mirna bohongku, mengajak Mirna pulang paksaku.
Setibanya mengantar Mirna ke
rumahnya, aku pikir Mirna akan
menerimaku dengan lapang dada. Namun semua berputar bagaikan pusaran
angin yang tak mengenal sing malam. Aku mencoba kembali memberi beberapa
permintaan realistis. Kemudian pada akhirnya Mirna pun memberiku kesempatan
terakhir dengan jalan yang tak pernah kutempuh, ta’arufan.
Pada dasarnya aku tak mengerti
sepercikpun tentang ta’arufan. Bagaikan piranha yang tak mengenal anaknya, aku
pun tak lebih dari makhluk amazon tersebut jika membahas soal ta’aruf. Aku baru
menyadari sebenarnya inilah yang diharapkan Mirna kepada seluruh pelamarnya
terdahulu. Tak semerah mawar yang terkadang juga kuning, aku belum banyak
mengetahui sisi lain dari penjual jamu tersebut.
Hari ke hari, minggu ke minggu,
tak terasa sudah dua bulan aku ta’arufan dengan Mirna, satu bulan dua puluh
tiga hari tepatnya. Ada satu hal yang paling menyebalkan didalam hubunganku
bersama Mirna, aku tidak tahu jikalau ta’aruf tidak membebaskan kedua pasangan
untuk bertemu, total saja aku hanya bertemu dua setengah kali dengannya. Setengah
yang dimaksud karna aku hanya melihatnya berjualan jamu tapi tidak bersua tatap
mata dengannya.
Hingga pada suatu ketika aku ingin
memastikan maksud Mirna meminta hubungan seperti ini. Akan tetapi, tiba-tiba
langkahku terhenti sejuta tangan telah menahanku. Ingin kucari mereka berkata,
tak perlu kau berlari mengejar mimpi yang tak pasti, hari ini juga mimpi,
bahkan selama inipun juga mimpi, maka biarkan saja Mirna pergi dan relakan dia.
Namun, aku sebagai lelaki tidak akan membuat pendaratan sdi tengah jalan selama
peayaraku berlanjut.
Terkadang aku sedih melihat Mirna
terus bekerja. Sayap-saayapmu yang kecil lincah itu berkeping seperti burung
camar yang terbang mencari tiang sampah hingga ke tempat berpijak kakimu dengan
pasti dank au ters mengarungi nasibmu mengikuti arus air berlari. Melihatmu teru
berjalan mengisir jalanan sepi dipinggir kali yang bening itu membuatku merasa
tak tega seakan nadiku terus menarik. Hal ini terus menarikku untuk menikahi
Mirna bukan lagi karena berlandaskan nafsu seperti jejaka-jejaka lainnya.
Tiga minggu berselang, siap segenap
raga untuk maangarungi deras sungai, menembus lapisan lajang, dan menggapai
manisnya ukhuwah, aku menemui Mirna dengan maksud melamarnya. Setibanya di
kediaman wanita tersebut, aku menjelaskan maksudku beserta iringan alasanku.
Dan itu terjadi, Mirna menerimaku meski aku pikir dia tidak menerima dengan
sepenuh hati, ya itu hanya pikirku.
Bulan setelahnya aku menikah
dengan Mirna dan memutuskan untuk tinggal di rumahku, karna rumah Mirna hanya
rumah kontrakan. Kami dikaruniai dua prang anak dan bersama membangun penjualan
jamu Mirna dan hinnga saat ini, kami memiliki usaha penjualan jamu yang sudah
di ekspor ke luar daerah dan insyaallah sukses seterusnya kedepan dan kamipun
hidup bahagia.
T
A M A T
ini bukan cerpen kisah gue beneran ya, baru belajar buat cerpen aja, semoga bermanfaat bagi para pembaca semua
0 komentar:
Posting Komentar