kurniadi rizki blog Actual news succession remains embarked with some some of ideas in the article

Translate

Minggu, 18 September 2016

Cerpen AKU,KAU DAN KUA (cover title)



   
        Desaku tiga hari kebelakang tak kunjung disinari mentari dengan sempurna. Hujan turun tak henti bagai rumput yang terus tumbuh. Udara terasa sejuk bagaikan salju yang akan turun. Pesona langit terlihat kusam ibarat wajah penuh noda. Mungkin Tuhan sedang sedih pikirku.
              Hari keempat masih sama saja tanpa melihat perbedaan jauh sedikitpun. Pagi itu aku bangun tidur lebih cepat dari biasanya, tentunya tak ada lagi selain secangkir kopi hangat sebagai teman yang sempurna dalam dinginnya hujan. Beruntungnya aku punya teras yang dihadapkan dengan taman halaman depan. Jarum jam menunjukkan pukul delapan yang berarti pukul sembilan akan tiba tak lebih dari enam puluh menit lagi. Ini bukan berarti maksud apapun, biasanya pada pukul itu aku harus terus mencari pekerjaan di setiap harinya.
              Berselang tak lebih seperempat jam seteah itu, aku masih terus memandang jatuhnya hujan menyirami tamanku. Seorang wanita paruh baya berjalan melewati rumahku. Tanpa tahu pasti kemana arah tujuannya, mungkin dia ingin membeli mengkudu di toko seberang jalan pikirku. Mirna namanya, di ujung komplek rumahnya, jual jamu kesehariannya. Aku mengenalnya dengan pasti, jamu jambu menjadi andalannya, obat meriang katanya, warisan keluarga ngakunya.
              Seluruh warga komplek mengenalnya, tak sedikit yang suka padanya, tak kurang sebagian dari mereka pernah  melamarnya, termasuk diriku. Akan tetapi, otak kecilku masih heran, mereka-mereka semua yang datang bermaksud melamar hanya mendapat penolakan, ya, tak terkecuali juga bagi diriku.
              Empat tahun sudah aku berusaha untuk melamarnya. Tiga tahun sebelas bulan tepatnya. Sempat terlintas di benakku, apa yang kurang dari diriku? Punya rumah sudah, meski cuma sepeninggalan ibu bapak, masalah tampang menurutku Fatimah tukang salon sebelah rumah juga tak bosan melihatku, bahkan taman rumahku juga ada meski tak ada bunganya. Delapan kali sudah lamaran ku beri, tujuh bulan sekali tepanya, empat kali diusir tiga kali digampar dan terakhir hinaan yang kudapat sebagai rinciannya. Apa mungkin aku melamar disaat dia sedang datang bulan atau karena daun papaya yang kumakan setiap hendak melamarnya pikirku.
              Tepat dua hari kemudian disaat aku sedang berkeliling kota. Tepat sekali, apalagi kalau bukan dengan maksud mencari pekerjaan. Belum lama setelah aku kembali ditolak oleh sebuah perusahaan, aku melihat seorang wanita sedang digoda oleh sekelompok pria. Aku mengenalnya dan sangat mengenalnya, Mirna. Melihat Mirna diperlakukan seperti itu aku datang menghampiri pada olah TKP. Ini bisa menjadi kesempatan pikirku, tanpa banyak basi, tarikan menuju tangan Mirna langkah awalku, mengaku suami Mirna bohongku, mengajak Mirna pulang paksaku.
              Setibanya mengantar Mirna ke rumahnya, aku pikir Mirna akan  menerimaku dengan lapang dada. Namun semua berputar bagaikan pusaran angin yang tak mengenal sing malam. Aku mencoba kembali memberi beberapa permintaan realistis. Kemudian pada akhirnya Mirna pun memberiku kesempatan terakhir dengan jalan yang tak pernah kutempuh, ta’arufan.
              Pada dasarnya aku tak mengerti sepercikpun tentang ta’arufan. Bagaikan piranha yang tak mengenal anaknya, aku pun tak lebih dari makhluk amazon tersebut jika membahas soal ta’aruf. Aku baru menyadari sebenarnya inilah yang diharapkan Mirna kepada seluruh pelamarnya terdahulu. Tak semerah mawar yang terkadang juga kuning, aku belum banyak mengetahui sisi lain dari penjual jamu tersebut.
              Hari ke hari, minggu ke minggu, tak terasa sudah dua bulan aku ta’arufan dengan Mirna, satu bulan dua puluh tiga hari tepatnya. Ada satu hal yang paling menyebalkan didalam hubunganku bersama Mirna, aku tidak tahu jikalau ta’aruf tidak membebaskan kedua pasangan untuk bertemu, total saja aku hanya bertemu dua setengah kali dengannya. Setengah yang dimaksud karna aku hanya melihatnya berjualan jamu tapi tidak bersua tatap mata dengannya.
              Hingga pada suatu ketika aku ingin memastikan maksud Mirna meminta hubungan seperti ini. Akan tetapi, tiba-tiba langkahku terhenti sejuta tangan telah menahanku. Ingin kucari mereka berkata, tak perlu kau berlari mengejar mimpi yang tak pasti, hari ini juga mimpi, bahkan selama inipun juga mimpi, maka biarkan saja Mirna pergi dan relakan dia. Namun, aku sebagai lelaki tidak akan membuat pendaratan sdi tengah jalan selama peayaraku berlanjut.
              Terkadang aku sedih melihat Mirna terus bekerja. Sayap-saayapmu yang kecil lincah itu berkeping seperti burung camar yang terbang mencari tiang sampah hingga ke tempat berpijak kakimu dengan pasti dank au ters mengarungi nasibmu mengikuti arus air berlari. Melihatmu teru berjalan mengisir jalanan sepi dipinggir kali yang bening itu membuatku merasa tak tega seakan nadiku terus menarik. Hal ini terus menarikku untuk menikahi Mirna bukan lagi karena berlandaskan nafsu seperti jejaka-jejaka lainnya.
              Tiga minggu berselang, siap segenap raga untuk maangarungi deras sungai, menembus lapisan lajang, dan menggapai manisnya ukhuwah, aku menemui Mirna dengan maksud melamarnya. Setibanya di kediaman wanita tersebut, aku menjelaskan maksudku beserta iringan alasanku. Dan itu terjadi, Mirna menerimaku meski aku pikir dia tidak menerima dengan sepenuh hati, ya itu hanya pikirku.
              Bulan setelahnya aku menikah dengan Mirna dan memutuskan untuk tinggal di rumahku, karna rumah Mirna hanya rumah kontrakan. Kami dikaruniai dua prang anak dan bersama membangun penjualan jamu Mirna dan hinnga saat ini, kami memiliki usaha penjualan jamu yang sudah di ekspor ke luar daerah dan insyaallah sukses seterusnya kedepan dan kamipun hidup bahagia.

                                                             T A M A T


ini bukan cerpen kisah gue beneran ya, baru belajar buat cerpen aja, semoga bermanfaat bagi para pembaca semua
   

0 komentar: